10 November 2011

M Nuh: Sjafruddin Prawiranegara Presiden RI Tahun 1948-1949

Rabu, 09/11/2011 17:49 WIB 

M Nuh: Sjafruddin Prawiranegara Presiden RI Tahun 1948-1949

Anwar Khumaini - detikNews

Sjafruddin Prawiranegara/wikipedia
Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengaku jasa Sjafruddin Prawiranegara sudah diajarkan sejak dulu dalam buku pelajaran sejarah. Menurutnya jasa terbesar Sjafruddin adalah saat menjadi Presiden RI tahun 1948 sampai 1949, ketika Yogyakarta jatuh dan Soekarno Hatta ditawan Belanda.

"Sekarang kan juga sudah ada. Kalau dia tidak ada dalam sejarah masa orang tahu bahwa beliau pernah menjadi presiden tahun 1948-1949," ujar M Nuh saat ditemui di kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Rabu (9/11/2011).

Nuh menjelaskan saat kepemimpinan Sjafruddin dianggap sebagai masa transisi. Karena itu Sjafruddin tidak tercatat sebagai Presiden RI kedua, melainkan Soeharto.

"Itu sudah ada dalam sejarah, semua orang tahu itu masa transisi. Maka biarkan sejarah itu berbunyi apa adanya dan itulah yang kita sampaikan ke masyarakat, jangan dikurangi jangan ditambahi. Jadi apa adanya. Jangan sampai nilainya berbeda," tutup Nuh.

Pemerintah mengangkat Sjafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional. Peran Sjafruddin Prawiranegara sangat besar pada saat Indonesia dilanda agresi militer Belanda II. Saat itu Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, Soekarno-Hatta ditawan Belanda. Sjafruddin-lah yang ditugasi membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948 di Sumatera. 

Selama 6 bulan, Sjafruddin menjalankan pemerintahan RI dari dalam hutan belantara. Mereka terus mempropagandakan pemerintahan Indonesia masih ada. Aksi Sjafruddin berhasil, dunia internasional akhirnya memaksa Belanda menghentikan agresi militer mereka. Tanpa PDRI, belum tentu Belanda mau maju ke meja perundingan. Sjafruddin menyelamatkan republik, tapi selama puluhan tahun jasanya seolah terlupakan.

(rdf/vit)

29 Januari 2011

Faiz Diwarisi Ilmu Langka oleh Mendiang Nana Sutresna

Kamis, 27/01/2011 18:30 WIB
Faiz Diwarisi Ilmu Langka oleh Mendiang Nana Sutresna
Luhur Hertanto - detikNews



(Alm) Nana Sutresna
Jakarta - Berpulangnya Nana Sutresna meninggalkan 'warisan' yang besar artinya bagi para diplomat muda. Salah satu yang merasakannya adalah Teuku Faizyasah yang mendapat pelajaran ilmu langka dari Nana Sutresna, yaitu menangkap dan menerjemahkan pesan tersirat dalam bahasa diplomatik.

"Satu hal yang saya sangat terkesan dari beliau adalah kemampuan menangkap pesan atau makna dibalik pernyataan pihak asing yang terkadang tersamar," ujar Faiz melalui telepon, Kamis (27/1/2011).

Faiz menuturkan dirinya mendapatkan pelajaran tersebut pada 2003-2004 membantu Ali Alatas dan Nana Sutresna sebagai Kepala Sekretariat Utusan Khusus Presiden. Salah satu misi yang dijalankan pada waktu itu adalah menjadi penyambung lidah antara pemerintah Korea Utara dan Korea Selatan untuk meredakan ketegangan di antara dua negara serumpun tersebut.

"Waktu itu belum ada 6 party talks (forum 6 negara yang dibentuk khusus untuk menekan program nuklir Korut-red)," papar pria yang kini menjadi Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri itu.

Selama berlangsungnya proses mediasi tersebut, Faiz menyaksikan langsung kehandalan duet Ali Alatas dan Nana Sutresna menjadi penyambung lidah yang sangat cakap. Dua begawan yang mencoba menyampaikan pesan semirip mungkin dengan maksud dari masing-masing negara plus menggabungkannya dengan pesan damai yang dibawa Indonesia.

"Kemampuan ini adalah hasil ketekunan berdiplomasi bertahun-tahun. Sulit saya menjelaskan karena baru bisa dirasakan saat menjalankan misi diplomasi itu sendiri," jawabnya ketika reporter detikcom meminta gambaran lebih jelas mengenai ilmu langka itu.

"Saya bersedih atas berpulangnya beliau. Kita doakan agar almarhum diberikan kemudahan oleh Allah SWT," sambung Faiz yang sedang berada di Davos, Swiss, mendampingi Presiden SBY mengikuti World Economic Forum (WEF).

Hal serupa juga disampaikan oleh Dino Pattidjalal. Menurut duta besar RI untuk AS itu, Nana Sutresna adalah diplomat ulung yang sangat dihormati jajaran diplomat di dalam dan luar negeri.

"Beliau selalu negosiator yang ulung dan selalu berpikir strategis," kenang Dino yang juga dihubungi melalui telepon.


(lh/fay)

12 Januari 2011

Makam Tan Malaka Disamarkan Jadi Makam Sunan Gesang

Rabu, 12/01/2011 15:42 WIB
Makam Tan Malaka Disamarkan Jadi Makam Sunan Gesang
Samsul Hadi - detikSurabaya



Lokasi makan Tan Malaka/Samsul H
Kediri - Hasil uji forensik menunjukkan makam tokoh nasional Tan Malaka berada di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namun diduga ada upaya menutupi fakta itu. Papan penunjuk lokasi makam sudah hilang, dan diganti dengan balok kayu bertuliskan 'Makam Sunan Gesang'.

Pantauan detiksurabaya.com Rabu (12/1/2011) menunjukkan, lokasi yang diduga makam Tan Malaka berada di tengah pemakaman umum Desa Selopanggung, turun jauh ke bawah di antara persawahan dengan sistem terasering. Pada jalur menuju lokasi makam Tan Malaka terdapat pohon yang dipasangi papan penunjuk. Saat ini papan penunjuk masih ada, namun tak lagi bertuliskan 'Makam Tan Malaka' melainkan 'Makam Sunan Gesang'.

Sejumlah warga mengaku tak mengetahui perihal penggantian papan penunjuk lokasi tersebut. Papan tulisan tersebut diketahui warga mulai terpasang sekitar 6 bulan silam, tanpa diketahui pemasangnya.

"Sudah lama dipasang. Tapi lamanya juga belum genap setahun," kata seorang wanita tua dalam bahasa Jawa kepada detikcom, saat tengah melintas di jalan sekitar lokasi makam Tan Malaka.

Wanita tua yang sedang mencari pakan ternak tersebut juga mengatakan, dia membenarkan adanya makam Sunan Gesang tersebut. Sayang, dia tak tahu lokasi persisnya karena belum sekalipun mendatanginya.

"Tirose wonten radi tengah. Tapi cirine nopo kulo boten semerap. (Katanya ada agak di tengah. Tapi cirinya apa saya tidak tahu-red)," sambungnya.

Kepala Desa Selopanggung Muhammad Zairi juga membenarkan adanya papan penunjuk lokasi Makam Sunan Gesang tersebut. Meski demikian dia tidak tahu siapa pemasang papan tersebut dan sejak kapan dipasang.

"Anak buah banyak yang ngomong, tapi siapa yang masang juga nggak tahu. Intinya tidak ada izin ke saya atau perangkat lainnya," ungkap Zairi kepada detiksurabaya.com di rumahnya.

Zairi justru membantah di pemakaman umum desa yang dipimpinnya terdapat makam Sunan Gesang. Selain terduga Tan Malaka yang belakangan benar adanya, makam tua lain yang ada di pemakaman umum adalah sesepuh Desa Selopanggung.

Ketiganya adalah Ki Kerto Joyo, prajurit Kerajaan Mataram Kuno yang meninggal dalam pelariannya, dan belakangan diketahui merupakan pembabat hutan untuk membuka desa. Makam tua kedua adalah Ki Ageng Selo, dan makam ketiga adalah Buyut Kanti yang juga tercatat sebagai orang pertama penghuni Desa
Selopanggung.

"Selain tiga itu dan Tan Malaka nggak ada yang lain. Bahkan saya sudah tanya ke orang-orang tua di sini, nggak ada makamnya Sunan Gesang itu," tegas Zairi.

Lokasi makam Tan Malaka dipastikan berada di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Ini diketahui dari hasil pemeriksaan forensik tulang belulang yang diangkat di lokasi tersebut tanggal 12 September 2009 silam, di mana metode odontologi dan antropologi forensik menunjukkan kebenaran.

Datuk Tan Malaka yang bernama asli Ibrahim merupakan pejuang kemerdekaan yang misterius. Makamnya juga sempat jadi misteri sebelum diyakini berada di Kediri. Proses kematiannya juga misterius, meski banyak tulisan bahwa dia meninggal setelah ditembak aparat militer. Sejarah Tan Malaka dihitamkan, karena dia dituding terlibat komunis.

(bdh/bdh)

Lokasi Makam Tan Malaka Positif Ada di Kediri

Rabu, 12/01/2011 15:01 WIB
Lokasi Makam Tan Malaka Positif Ada di Kediri
Samsul Hadi - detikSurabaya



Kediri - Di tengah pengekangan yang terus dilakukan terhadap sosok Tan Malaka, ada kabar baru soal misteri keberadaan makamnya. Sebuah uji forensik telah membuktikan kalau sebuah makam di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, adalah positif milik tokoh nasional itu.

Informasi kebenaran makam Tan Malaka berada di Kediri, disampaikan oleh Kepala Desa Selopanggung, Muhammad Zairi. Kebenaran tersebut didapatkan berdasarkan keterangan lisan Tim Identifikasi Forensik Tan Malaka.

"Saya sudah menghubungi Mas Abi (Abi Setyo Nugroho, sekretaris Tim Identifikasi Forensik Tan Malaka), dan dia membenarkan yang ada di Desa Selopanggung itu adalah makamnya Tan Malaka. Tak berselang lama saya juga dikirimi surat yang membenarkan makam Tan Malaka ada di Kediri," jelas Zairi kepada detikcom di rumahnya, Rabu (12/1/2011).

Zairi mengatakan, dia sudah memberi tembusan pada Dinas Sosial Kabupaten Kediri untuk bisa dihubungkan dengan Kementerian Sosial, perihal wacana pembangunan makam Tan Malaka ke depan. Diakuinya, rencana tersebut sudah ada meski belum bisa direalisasikan.

"Saya pikir kalau akhir tahun kemarin kan memang banyak bencana, jadi anggaran Kementerian Sosial banyak tersedot ke sana. Tapi yang pasti mereka sudah mewacanakan, tinggal action-nya saja yang belum," sambung Zairi.

Sementara Sekretaris Tim Identifikasi Forensik Tan Malaka Abi Setyo Nugroho juga membenarkan kabar yang disampaikan Zairi. Dari 3 metode pemeriksaan terhadap kerangka yang diambil dari Desa Selopanggung tanggal 12 September 2009 silam, yaitu odontologi atau susunan gigi, antropologi forensik dan DNA, 2 di antaranya sudah dipastikan positif.

"Sekarangan hanya tinggal pengujian DNA saja yang belum selesai dan masih dilakukan di Korea Selatan. Kalau odontologi dan atropologi forensik sudah positif," kata Abi kepada detikcom melalui sambungan telepon.

Abi lantas menyebutkan sejumlah hasil pemeriksaan forensik, di mana dari odontologi ditemukan kemiripan terhadap sosok Tan Malaka. Antara lain kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40-60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi.

Sementara pemeriksaan antropologi forensik menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163-165 cm, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas. Data tersebut sama dengan ciri-ciri Tan Malaka yang disampaikan pihak keluarga, yaitu Tan Malaka adalah seorang laki-laki, usia 52 tahun (1897-1949) pada saat meninggal, ras Mongoloid, suku Minang, tidak kawin, tinggi badan 160-165 cm, golongan darah tidak diketahui dan tidak merokok.

Hasil pemeriksaan forensik juga menyebutkan kerangka terduga Tan Malaka dimakamkan terbaring dalam posisi miring menghadap ke barat atau secara Islami. Posisi kedua lengan bawah tersilang ke belakang. Di sekitar leher, tungkai maupun lengan tidak didapatkan tali maupun bahan pengikat lainnya. Temuan ini sesuai dengan cerita sejumlah saksi sejarah yang menyebutkan Tan Malaka dimakamkan secara Islam. Tan Malaka pun saat meninggal tangannya terikat ke belakang.

"Sekarang tinggal menunggu uji DNA-nya. Semoga benar, sehingga semua bisa segera ada kejelasannya," pungkas Abi.

Datuk Tan Malaka yang bernama asli Ibrahim merupakan pejuang kemerdekaan yang misterius. Hingga saat ini, tidak diketahui secara persis di mana dia dimakamkan. Proses kematiannya juga misterius, meski banyak tulisan bahwa dia meninggal setelah ditembak aparat militer. Sejarah Tan Malaka dihitamkan, karena dia dituding terlibat komunis.

(bdh/bdh)

09 Januari 2011

WikiLeaks Minta Google dan Facebook Terbuka

WikiLeaks Minta Google dan Facebook Terbuka
Twitter menerima surat perintah pengadilan membuka akun pribadi para staf WikiLeaks.
MINGGU, 9 JANUARI 2011, 00:35 WIB
Nezar Patria

VIVAnews--WikiLeaks telah meminta Google dan Facebook agar membuka isi surat perintah jika nanti mereka menerimanya dari pemerintah Amerika Serikat. Permintaan itu menyusul terbukanya ke publik satu surat perintah Pengadilan Virginia, Amerika Serikat yang ditujukan ke Twitter.

Surat itu meminta Twitter diam-diam membuka detil akun lima orang yang terkait WikiLeaks, termasuk sang pendiri Julian Assange.

Di tengah upaya seorang juri di pengadilan itu menyisir detil jaringan dan akun WikiLeaks yang dipakai berkomunikasi dengan Bradley Manning --seorang serdadu Amerika Serikat yang dituduh membocorkan ratusan ribu dokumen kawat diplomatik yang sensitif itu ke WikliLeaks-- kelima orang itu menyatakan akan melawan permintaan pembukaan identitas itu.

"Hari ini kegiatan intelijen dari juri pemerintah AS menyelidiki WikiLeaks terkonfirmasi sudah, saat surat perintah itu terbuka ke publik,” demikian bunyi pernyataan resmi WikiLeaks, seperti dikutip dari laman Guardian, Sabtu 8 Januari 2011.

Surat perintah yang disetujui Pengadilan Virginia pada Desember lalu, meminta situs mikro-blogging berbasis di San Fransisco itu menyerahkan semua detil akun dan pesan pribadi di Twitter, termasuk komputer dan jaringan yang dipakai oleh lima awak WikiLeaks.

Mereka yang diincar akunnya itu adalah pendiri Wikileaks Julian Assange, Bradley Manning, anggota parlemen Islandia Brigitta Jonsdottir, dan hacker Belanda Rop Gonggrijp.

Ketiganya, --Gonggrijp, Assange dan Jonsdottir – disebut sebagai “produser” dari kebocoran pertama yang signifikan, yaitu video tentang serangan satu Heli Apache militer AS yang menewaskan kaum sipil dan jurnalis di Baghdad.

Surat perintah itu juga menargetkan akun Jacob Applebaum, seorang programer komputer AS. Komputer dan telepon Applebaum sempat diperiksa petugas pada Juli lalu, setelah dia tak kembali dari Belanda ke AS.

Pengadilan yang mengeluarkan surat perintah itu yakin Twitter punya informasi yang “relevan dan material” atas kasus kriminal yang tengah mereka selidiki.

Surat itu juga meminta Twitter agar tak memberitahukan individu yang menjadi target surat perintah itu. Tapi, permintaan itu ditolak oleh Twitter.

Pengadilan juga meminta Twitter menyerahkan detil sumber dan alamat Internet Protocol (IP) yang pernah dipakai mengakses sejumlah akun itu, untuk membantu penyelidik mengetahui bagaimana kelima orang itu berkomunikasi lewat email.

Jaksa Agung AS Eric Holder menyatakan dia percaya Assange dapat dijerat lewat UU Anti Spionase. Dikataka ada tawaran yang pantas buat Manning, si prajurit pembocor dokumen itu, jika dia mau membantu penyelidikan ini.

WikiLeaks mengecam surat perintah pengadilan itu, dan menganggapnya sebagai pelecehan. “Kalau saja pemerintah Iran yang memaksa mendapatkan informasi seperti ini kepada wartawan dan aktivis asing, maka kelompok HAM sedunia sudah berteriak,” ujar Assange dalam surat pernyataan itu.

Dalam panduan khusus di Twitter, terutama di Privacy and Terms of Services disebutkan, bahwa "Informasi non publik tentang Twitter tak dapat dibuka kecuali kami menerima surat perintah, atau dokumen hukum lainnya." Permintaan seperti itu, menurut aturan di Twitter, hanya sah bila berkekuatan hukum.

• VIVAnews

Australia Luncurkan Beasiswa 'Frans Seda'

Australia Luncurkan Beasiswa 'Frans Seda'
Mendiang Frans Seda adalah mantan Menteri Pemerintah Indonesia, penasihat 3 presiden RI.
SABTU, 8 JANUARI 2011, 10:37 WIB
Renne R.A Kawilarang

VIVAnews - Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, menyambut baik peluncuran program Beasiswa Bahasa Inggris "Frans Seda" oleh Kepala Pemerintahan Negara Bagian Australia Utara di Darwin.

“Beasiswa ini sebagai penghormatan atas mendiang Frans Seda yang memainkan peran penting dalam pengembangan hubungan antara Australia dan Indonesia,” ujar Moriarty dalam pernyataan kepada VIVAnews.com, Jumat 7 Januari 2011.

Wafat pada 31 Desember 2009 di usia 83 tahun, Seda adalah mantan Menteri Pemerintah Indonesia, penasihat tiga presiden RI, dan penerima penghargaan Order of Australia atas karyanya dalam memperkuat hubungan perdagangan bilateral.

“Frans Seda adalah orang berprinsip yang bekerja tidak mengenal lelah guna memajukan lebih jauh hubungan kuat antara kedua negara melalui hubungan politik, perdagangan, transportasi, pendidikan, kebudayaan, dan olahraga,” tutur Moriarty.

Beasiswa atas nama Frans Seda disponsori oleh Kepala Pemerintahan Negara Bagian Australia Utara dan Charles Darwin University. Diresmikan pada Desember 2010, beasiswa ini akan diberikan setiap tahun kepada tiga pelajar Indonesia di Charles Darwin University untuk meningkatkan kelancaran bahasa Inggris mereka, dan tiga pelajar dari Australia Utara untuk belajar bahasa Indonesia.

Beasiswa tersebut senilai A$60.000, atau sekitar Rp534 juta untuk jangka waktu tiga tahun. Beasiswa mencakup biaya kursus hingga 10 pekan pelatihan bahasa Inggris secara intensif di universitas tersebut dan membantu kajian dan pembelajaran bahasa Indonesia di luar negeri bagi pelajar Australia yang berasal dari Australia Utara.

Beasiswa baru ini berpotensi untuk memperluas wawasan budaya dan pendidikan Australia Utara ke Asia dan sebagai tanda penghormatan kepada Frans Seda dan karyanya dalam pengembangan hubungan bilateral. (art)

• VIVAnews

08 Januari 2011

Selamat Jalan Elfa Secioria

Sabtu, 08/01/2011 19:41 WIB
Selamat Jalan Elfa Secioria
Han Kristi - hotMusic




Elfa Secioria (dok.Java Jazz)
Jakarta - Elfa Secioria merupakan salah satu musisi yang tidak pernah terseret ke dalam arus industri. Sepanjang karirnya, Elfa tetap pada idealismenya menghasilkan karya-karya musik yang berkualitas.

Elfa Secioria Hasbullah lahir di Garut, Jawa Barat pada 20 Februari 1959. Sejak usia 5 tahun, Elfa kecil mulai bermain piano. Bakat Elfa turun dari sang ayah, Hasbullah Ridwan, anggota polisi yang juga aktif sebagai musisi jazz.

Setelah belajar komposisi musik secara formal dan informal, Elfa yang saat itu berusia 19 tahun membentuk vokal grup. Vokal grup itu pun berhasil menjadi jawara di beberapa festival di luar negeri.

Prestasi Elfa semakin melesat pada tahun 80-an. Lewat 'Detik tak Bertepi' yang dinyanyikan Christine Panjaitan, Elfa meraih penghargaan The Best Arranger dan the Best Song di ajang ASEAN Song Festival.

Elfa pun mendirikan sekolah musik Elfa's Music School. Pada 1978, Elfa membentuk Elfa's Singers yang sekarang beranggotakan Agus Wisman, Yana Julio, Lita Zen dan Uci Nurul. Tony Sianipar, Rita Effendy atau bahkan Titi DJ pernah bergabung dengan vokal grup itu.

Sampai saat ini, Elfa's Singers dan Elfa's Music School tetap rutin mengikuti festival-festival musik di luar negeri.

Elfa juga pernah sukses saat berkolaborasi dengan Harvey Malaiholo. Bersama Harvey, ia merilis 'Gempita dalam Nada'. Lagu tersebut juga mengantarkan Harvei meraih The Best Performer di ajang Golden Kite Festival di Malaysia pada 1984.

Setiap penyanyi Indonesia pasti ingin mendapatkan sentuhan dari Elfa. Bunga Citra Lestari pun sempat berlatih vokal dengan Elfa, begitu pun dengan Andien dan banyak lagi.

Pada Rabu (8/1/2011), dunia musik Indonesia pun berkabung. Bang Eel menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang ke-51.

Selamat jalan Elfa Secioria, kami akan terus mengenang karya-karyamu.


(hkm/hkm)


19 Desember 2010

Utak-Atik Keraton Sultan Henk

CITIZEN JOURNALISM: SIAPA SAJA, MENULIS APA SAJA
Utak-Atik Keraton Sultan Henk
Walentina Waluyanti – Belanda

Saya senyum-senyum mendengar percakapan antara dua orang Belanda kenalan saya. Mereka mengikuti berita di Indonesia, termasuk berita yang sekarang sedang hangat. Tentang SBY yang menyoalkan monarki. Begini percakapan antara dua orang Belanda itu.

Wah, orang Jawa juga berani protes Raja Jawa, ya?

Ah, Presiden Yudhoyono itu kan bukan orang Jawa!?

Oh ya? Kalau begitu orang apa?

Kalau tidak salah, orang Pijiten”.

Rupanya, lidah Belandanya membuatnya susah benar melafalkan kata “Pacitan”. Keseleo-nya si Meneermenyebut “Pacitan” menjadi “Pijiten”, membuat saya tak bisa menahan tawa. Dasar Meneer Londo sok tahu! Wah, ini betul-betul bisa melahirkan daerah baru, Daerah Istimewa Pijiten.

Dulu, sebelum kemerdekaan, Belanda saja takut pada Sultan. Di dalam Indisch Staasblad 1837, ada citaatpemerintah kolonial yang mencatat pemerintahan Belanda di tanah Jawa tidak akan bisa berjalan, tanpa menghormati pentingnya peran kesultanan di mata rakyat.

Walau alasan dibalik ini terasa negatif di mata rakyat terjajah, yaitu “demi melanggengkan kekuasaan kolonial”, namun ada makna yang jelas. Yaitu, Belanda yang juga negara kerajaan mengerti situasi psikologis hubungan antara rakyat dan rajanya. Bagi rakyat, makna kerajaan itu bukan sekedar “raja yang disembah”. Kerajaan juga adalah implementasi gambaran rakyat tentang tatanan antara yang mengayomi dan yang diayomi.

Alasan psikologis ini sampai sekarang menjadi dasar utama, mengapa di jaman modern ini masih banyak rakyat di berbagai negara, yang tetap menolak jika monarki di negara mereka sama sekali dihapuskan. Penolakan rakyat terhadap penghapusan monarki, seakan cerminan kerinduan rakyat tentang makna “pengayoman”. Rakyat butuh diayomi. Pertanyaannya, mana yang lebih bisa mengayomi? Presiden atau raja?

Dulu di jaman kolonial, umumnya para Sultan tahu betul kedudukan mereka disegani Belanda. Namun begitu, Sultan Yogya ketika itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX (ayah Sri Sultan HB X), tidak mau dimanfaatkan hanya sebagai simbol dan boneka. Kepada Belanda dikatakannya, “Walau saya berpendidikan Belanda, tapi saya tetap orang Jawa”. Walau akrab dan punya banyak teman Belanda, tapi itu tidak menghilangkan prinsip politiknya sebagai bangsa Indonesia dan menolak bekerja sama dengan Belanda. Hijrahnya ibukota RI ke Yogya (1946-1949), adalah atas prakarsa “Sultan Henk”.

Sri Sultan Hamengkubuwo IX yang fasih berbahasa Belanda, memang punya nama Belanda. Di antara teman-teman Belandanya, Sri Sultan HB IX biasa dipanggil dengan nama Belanda, “Sultan Henk”. Henk, singkatan dari Henki. Nama ini diambil dari nama suami Ratu Wilhelmina, yaitu Pangeran Hendrik.

Di ensiklopedi disebutkan, Sri Sultan dinamai Henkie oleh keluarga Belanda yang mengasuhnya sejak kecil. Sejak umur empat tahun, Sultan memang sudah dititipkan pada keluarga Mulder, keluarga Belanda yang tinggal di Gondokusuman. Maksudnya agar bisa belajar disiplin dan hidup biasa seperti anak-anak lainnya.

Kini, 22 tahun sesudah wafatnya Sultan Henk, keraton Yogya diutak-atik, sebagai lanjutan pernyataan SBY tentang monarki di Yogyakarta.

Presiden menolak dituduh menyoalkan monarki karena ada muatan politis dibaliknya. Juga menolak anggapan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono X ancaman bagi popularitas Partai Demokrat di Pulau Jawa. Alasannya, presiden sudah terpilih selama dua periode. Tak bisa lagi maju untuk periode ketiga. Jadi apa buktinya Sultan Yogya itu adalah ancaman bagi SBY?

Orang-orang mengiyakan argumen itu. Alasan itu benar dan masuk akal. Orang-orang mengangguk-angguk. Tapi namanya juga manusia. Tidak puas cuma mengangguk. Setelah mengangguk, mata mereka pun diarahkan ke anggota keluarga presiden lain, yang duduk di Partai Demokrat. Di partai itu pula SBY tetap dan akan menjabat sebagai penasehat partai, jika tak lagi menjabat sebagai presiden. Selama prosesnya konstitusional, sistem demokrasi tidak akan menghalang-halangi siapa pun menjadi presiden, termasuk anggota keluarga presiden. Ini sah-sah saja.

Sementara itu, Nasional Demokrat, ormas tempat Sultan duduk sebagai pembina, hampir ada mirip-miripnya dengan Partai Demokrat. Namanya pun pakai embel-embel “Demokrat”. Yaitu Nasional Demokrat (Nasdem). Bedanya, Nasdem ormas bentukan Surya Paloh itu, bukanlah partai. (Tentang ini, Sultan pernah berkata, “Sama Ormas kok takut”).

Biru adalah warna Partai Demokrat. Nasdem juga warnanya biru.Warna darah antara kedua tokoh ini juga nyaris mirip. Sri Sultan berdarah biru. Presiden mungkin saja darahnya merah, tapi pembawaan dan tindak-tanduknya tak kalah berkharisma dari bangsawan berdarah biru.

Ada yang lebih menarik perhatian daripada sekedar kemiripan itu. Yaitu, Nasdem dikenal sangat oposan dan vokal terhadap penguasa. Karena itu, “sentilan” presiden tentang monarki di kesultanan Yogya dianggap sebagai balasan atas suara-suara vokal Nasdem selama ini.

Hidup di tengah carut marut politik, memang sudah risiko jadi pemimpin. Banyak intrik dan tekanan. Kalau tidak tahan terpaan badai, jalan yang paling mudah adalah mundur atau sekalian tidak pernah mencalonkan diri jadi pemimpin. Setiap keputusan dan kebijakannya akan diteliti sampai sekecil-kecilnya. Maklum saja, keputusan itu menyangkut hajat hidup jutaan rakyat. Salah sedikit, bisa menghasilkan efek domino. Jadi rakyat memang merasa berhak cawe-cawe.

Ngomong-ngomong tentang monarki. Beberapa negara kerajaan menyadari perlunya menganut monarki konstitusional. Misalnya Belanda dan Inggris. Ini untuk menghindari peluang terjadinya otokrasi dan diktatorisme yang bisa menindas rakyat. Karena dituntut hormat dan patuh pada konstitusi, walau dirinya pemimpin kerajaan, tapi Ratu Belanda tidak akan berani mencampuri kedaulatan dan keputusan pengadilan. Sebaliknya otoritas pengadilan juga sangat kuat, tidak akan sudi diatur-atur ratu. (Ini yang menyebabkan ratu tidak bisa seenaknya mengatur-atur pengadilan menghentikan tuntutan RMS. Sebaliknya, pengadilan juga mengakui kekebalan diplomatik SBY sebagai presiden, pihak lain tak bisa asal tuntut begitu saja).

Jadi, kalau bicara soal monarki...hari gini, masih ada juga negara yang menganut monarki absolut. Negara manakah itu? Wikipedia mencatat, Oman, Arab Saudi, Vatikan, Brunei. Oke, kita katakan saja Brunei. Monarki absolut itu jelas bertentangan dengan azas demokrasi. Lalu demokrasi itu konon lebih baik dari monarki. Tapi Brunei negara monarki itu, nyatanya negaranya lebih makmur. Padahal Brunei itu baru berapa tahun merdekanya?

Indonesia negara demokrasi. Sudah negara demokrasi, pakai “Pancasila” lagi. Apa masih kurang sakti? Sudah sakti begitu, mestinya negaranya adil makmur. Jadi, di mana letak kesalahan demokrasi? Tentu saja bukan karena ada daerah monarki (menurut SBY) dalam negara demokrasi.

Pilkada itu demokratis. Jadi pemilihan gubernur, walikota, dan bupati harus melalui Pilkada. Karena begitulah seharusnya sebuah sistem dalam negara demokrasi, mesti dijalankan. Sudah melalui proses demokratis, tapi berapa banyak kepala daerah mengkhianati pemilihnya, diangkut ke penjara karena korupsi? Berapa banyak praktek “money politics” dalam Pilkada? Berapa banyak oknum pejabat yang mengiming-imingi duit kepada para pemilihnya dalam Pilkada yang katanya demokratis itu? Di mana letak kesalahan sistem demokrasi? Apa artinya memilih langsung secara demokratis, tapi dipilih oleh pemilih bayaran?

Jika berbicara tentang mengutak-atik “daerah istimewa”, maka ada yang lebih istimewa untuk diutak-atik. Yaitu sebuah negara asing “istimewa” karena kok bisa dengan bendera “Freeport” selama bertahun-tahun mengangkut kekayaan alam yang bukan miliknya? Anehnya, ini terjadi di jaman kemerdekaan, bukan lagi jaman penjajahan. Ironis, rakyat terampas kesejahteraannya di tanahnya sendiri yang kaya itu. Bukankah rakyat mestinya di-”istimewa”-kan karena lebih berhak atas kekayaan alamnya sendiri yang dihisap secara berkesinambungan, oleh sebuah “Negara Istimewa”?

Mau demokrasi, mau monarki...toh, akhirnya tuntutan jaman sulit menyangkal idealnya sistem bernegara secara konstitusional. Ini artinya, hakikat bernegara itu tidak bermaksud mendudukkan presiden sebagai yang tertinggi dalam negara. Sultan bukanlah yang tertinggi di daerahnya. Titah raja bukan suara tertinggi seperti dalam monarki. Dan suara rakyat bukanlah segala-galanya, seperti yang dipikir orang tentang cara berdemokrasi.

Karena yang kedudukannya lebih tinggi daripada presiden, lebih tinggi daripada raja, lebih tinggi daripada rakyat...adalah HUKUM.

Berapa banyak negara monarki konstitusional yang tertib konsisten memberlakukan hukum secara adil? Dan berapa banyak negara non monarki yang penegakan hukumnya nyaris menjadi puing-puing di balik topeng demokrasi?

Walentina Waluyanti
Nederland, 5 Desember 2010

ILUSTRASI FOTO-FOTO DOK REDAKSI

MODERATOR - Penggagas KoKi : ZEVERINA

Pembaca "KOLOM KITA" (KoKi) entah di Bontang, Inggris, Bali, Belanda, New Jersey, Kuwait, Australia, atau di Kediri, silakan berbagi peristiwa seputar kehidupan sehari-hari. Kirimkan artikel dan foto melalui form "Kirim Artikel", jika mengalami kesulitan kirimkan melalui email: temennyazev@gmail.com ;kokizeverina@gmail.

http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/2154/utak-atik_keraton_sultan_henk?883306koki

Yang Miskin dan Terpinggirkan Zaman

SOROT 114
Yang Miskin dan Terpinggirkan Zaman
Sejumlah kerajaan jatuh miskin, bahkan ada yang terancam pemutusan listrik.
JUM'AT, 17 DESEMBER 2010, 22:25 WIB
Indra Darmawan
Keraton Kasunanan Surakarta (VIVAnews/ Fajar Sodiq)

VIVAnews - Bangunan itu masih terlihat megah. Sejak pertama menyusuri komplek Keraton Surakarta Hadiningrat melalui Alun-alun Utara--memasuki bagian Sitihinggil, Gerbang Kori Brojonolo, Kori Kamandungan, Kori Sri Manganti, hingga ke Pelataran Kedaton--masih terlihat jelas jejak-jejak kemegahan arsitektural bangunan yang didirikan sejak 1744 itu.

Keraton ini turut diarsiteki oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, yang juga mendesain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tak heran bila masing-masing elemen arsitektur bangunan itu sama-sama memiliki makna simbolis. Misalnya saja, sebuah cermin besar yang ditempatkan di pintu gerbang Kori Kamandungan, bermakna agar para pengunjung bercermin dan berintrospeksi sebelum masuk ke dalam Keraton.

Namun, bila diperhatikan secara seksama, beberapa sudut bangunan di Keraton Surakarta sudah terlihat rusak. Kulit-kulit tembok mengelupas serta lumut menghiasi beberapa bagian tembok. Tubuh keraton yang rompal di sana-sini serta pilar-pilar kayu yang mulai mengeropos, jelas menandai memudarnya kharisma dan wajah Keraton Surakarta yang dulu merupakan salah satu bangunan yang paling eksotik di masanya.

“Bisa dibilang 50 persen bangunan Keraton Surakarta rusak parah. Entah itu dindingnya mengelupas atau kosong dan tidak terawat, “ ujar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger, putra Pakubuwono XII, kepada VIVAnews.com.

KGPH Puger menjelaskan beberapa bangunan yang rusak, di antaranya adalah tempat-tempat yang sering digunakan untuk kegiatan kerajaan, kampung-kampung abdi dalem, Kali Putri, Keputren, dan Kampung Kepatihan.
Ini menjelaskan bagaimana Keraton Surakarta terseok-seok untuk bertahan di tengah gerusan zaman, karena tak punya biaya menghidupi dirinya sendiri.

"Kalau dari keraton sendiri, jelas tidak bisa. Nah, sekarang kami dari mana sumber pendanaannya? Kalau hanya mengandalkan dari pemasukan obyek wisata, jelas sangat-sangat kurang, “ katanya.

Menurut KGPH Puger, keraton memang tidak memiliki dana untuk merawat bangunan yang berdiri di tanah seluas 70 hektare itu. Apalagi pasca bergabungnya keraton ke pangkuan Republik Indonesia, semua aset kekayaan milik keraton termasuk tanah dan perusahaan, telah dinasionalisasi oleh negara.

“Dulu, kami punya perusahaan air minum, perkebunan, pertanian, pajak, kereta api, gula dan bangunan-bangunan yang sekarang dijadikan untuk kepentingan pemerintah NKRI,” ujar KGPH Puger. Saat masih milik keraton, perusahaan-perusahaan itu menjadi penopang untuk membiayai kebutuhan keraton.

Proses penyerahan aset itu sendiri, kata dia, diambil atas inisatif Pakubuwono XII untuk ikut membantu NKRI. “Negara ini beruntung. Dulu tidak punya apa-apa, tapi kemudian dibantu oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia untuk menopangnya,” ia menerangkan.

Awalnya, kata dia, Keraton Surakarta menitipkan asetnya kepada NKRI agar dimanfaatkan dengan sistem bagi hasil. "Namun, lama kelamaan Sinuhun ditinggal begitu saja," ia mengeluhkan. Padahal, keraton masih harus membiaya perawatan keraton, upacara-upacara tradisional, serta menggaji para abdi dalem.

Kekuasaan Kasunanan pun semakin menyusut seiring bergabungnya mereka dengan NKRI. Alhasil, kata dia, pihak keraton tak mampu membiayai ongkos perawatan keraton yangnotabene adalah bangunan peninggalan budaya yang musti dilindungi.

Bangunan keraton yang dulu menjadi tempat tinggal abdi dalem, kini kosong dan tak terawat, karena sudah tidak ditempati lagi. Jangankan merawat bangunan, untuk menggaji abdi dalem saja, KGPH Puger mengatakan, tidak mencukupi.

Kondisi serupa kurang lebih juga dialami oleh keraton-keraton dan kerajaan-kerajaan lain. Misalnya saja keraton Kanoman Cirebon, yang kondisinya tak kalah memprihatinkan.

Pintu gerbang Keraton Kanoman yang biasa dibuka saat acara Grebeg Syawal terlihat telah memudar warnanya. Suasana di dalam bangunan utama keraton juga dipenuhi dinding berlapis lumut. Benda-benda yang dipajang di museum, ornamen ukiran, banyak yang tak terawat, kusam dan berdebu. Eternit lapuk, bahkan ada juga yang sudah jebol.

Belum lagi pembangunan kota yang tak memperhatikan aspek tata ruang, sehingga lokasi Keraton Kanoman tersembunyi dan dikelilingi bangunan-bangunan lain. Untuk masuk ke Keraton Kanoman, pengunjung musti masuk dari Pasar Kanoman yang terkesan kumuh dan penuh para pedagang.

Praktis, kini keraton-keraton mengandalkan dana dari pemerintah untuk membiayai hidupnya. Keraton Surakarta, misalnya, mendapatkan subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan operasional, termasuk untuk membayar listrik telepon dan air.

Pada 2010, Keraton Surakarta mendapatkan anggaran sebesar Rp300 juta untuk biaya operasional. Namun tak semua keluarga kerajaan di masa lalu mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Misalnya saja, Puri Agung Pemecutan, yang merupakan sisa kerajaan yang berlokasi di Denpasar Bali. Menurut Anak Agung Ngurah Putra Darma Nuraga, yang merupakan keturunan dari Raja Pemecutan, puri mereka sama sekali tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah.

Padahal, Puri Agung kerap kali mengadakan berbagai upacara untuk melestarikan adat dan tradisi mereka. "Di Bali tak pernah ada bantuan dari pemerintah untuk puri-puri. Sebagaimanapun besarnya upacara yang dilakukan, semuanya dana dari keluarga kami sendiri. Tidak ada sesen pun dana bantuan pemerintah,” kata dia kepada VIVAnews.com.

Padahal, kata dia, awal dari pemerintahan modern NKRI semua berawal dari dukungan kerajaan-kerajaan termasuk dari Bali. “Terbentuknya NKRI tidak terlepas dari peran kerajaan itu sendiri," katanya.

Keluarga puri, ia menjelaskan, tidak memiliki uang untuk mengembangkan purinya. "Inilah yang harus diperhatikan pemerintah. Janganlah memperhatikan pemerintahannya saja, namun cikal bakal NKRI diabaikan.”

Mirisnya lagi, kendati beberapa keraton mendapatkan subsidi dari pemerintah, terkadang hal itu juga tak sepenuhnya mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pertengahan September lalu, berbagai media massa mengungkap kabar yang menyedihkan: Keraton Surakarta menunggak biaya listrik selama tiga bulan.

Oleh pihak PLN, Keraton Surakarta dinyatakan menunggak pembayaran tagihan listrik sebesar Rp30 juta antara Juli-September 2010. Aliran listrik ke Keraton sempat diancam diputus oleh PLN. Pihak DPRD sempat mempertanyakan pengelolaan dana dari pemerintah oleh keraton. Namun, pihak keraton mengatakan bahwa tunggakan ini terjadi akibat telatnya pencairan dana dari pemerintah.

Apapun alasanya, kabar ini sudah pasti akan semakin menjatuhkan wibawa keraton di mata masyarakat. Sepertinya, keraton-keraton dan kerajaan yang ada di nusantara, khususnya yang tak memiliki kekuasaan eksekutif seperti Keraton Yogyakarta, memang menghadapi tantangan yang berat untuk bisa terus bertahan di zaman modern. (Laporan: Fajar Sodiq dan Peni Widarti | kd)

• VIVAnews