19 Desember 2010

Utak-Atik Keraton Sultan Henk

CITIZEN JOURNALISM: SIAPA SAJA, MENULIS APA SAJA
Utak-Atik Keraton Sultan Henk
Walentina Waluyanti – Belanda

Saya senyum-senyum mendengar percakapan antara dua orang Belanda kenalan saya. Mereka mengikuti berita di Indonesia, termasuk berita yang sekarang sedang hangat. Tentang SBY yang menyoalkan monarki. Begini percakapan antara dua orang Belanda itu.

Wah, orang Jawa juga berani protes Raja Jawa, ya?

Ah, Presiden Yudhoyono itu kan bukan orang Jawa!?

Oh ya? Kalau begitu orang apa?

Kalau tidak salah, orang Pijiten”.

Rupanya, lidah Belandanya membuatnya susah benar melafalkan kata “Pacitan”. Keseleo-nya si Meneermenyebut “Pacitan” menjadi “Pijiten”, membuat saya tak bisa menahan tawa. Dasar Meneer Londo sok tahu! Wah, ini betul-betul bisa melahirkan daerah baru, Daerah Istimewa Pijiten.

Dulu, sebelum kemerdekaan, Belanda saja takut pada Sultan. Di dalam Indisch Staasblad 1837, ada citaatpemerintah kolonial yang mencatat pemerintahan Belanda di tanah Jawa tidak akan bisa berjalan, tanpa menghormati pentingnya peran kesultanan di mata rakyat.

Walau alasan dibalik ini terasa negatif di mata rakyat terjajah, yaitu “demi melanggengkan kekuasaan kolonial”, namun ada makna yang jelas. Yaitu, Belanda yang juga negara kerajaan mengerti situasi psikologis hubungan antara rakyat dan rajanya. Bagi rakyat, makna kerajaan itu bukan sekedar “raja yang disembah”. Kerajaan juga adalah implementasi gambaran rakyat tentang tatanan antara yang mengayomi dan yang diayomi.

Alasan psikologis ini sampai sekarang menjadi dasar utama, mengapa di jaman modern ini masih banyak rakyat di berbagai negara, yang tetap menolak jika monarki di negara mereka sama sekali dihapuskan. Penolakan rakyat terhadap penghapusan monarki, seakan cerminan kerinduan rakyat tentang makna “pengayoman”. Rakyat butuh diayomi. Pertanyaannya, mana yang lebih bisa mengayomi? Presiden atau raja?

Dulu di jaman kolonial, umumnya para Sultan tahu betul kedudukan mereka disegani Belanda. Namun begitu, Sultan Yogya ketika itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX (ayah Sri Sultan HB X), tidak mau dimanfaatkan hanya sebagai simbol dan boneka. Kepada Belanda dikatakannya, “Walau saya berpendidikan Belanda, tapi saya tetap orang Jawa”. Walau akrab dan punya banyak teman Belanda, tapi itu tidak menghilangkan prinsip politiknya sebagai bangsa Indonesia dan menolak bekerja sama dengan Belanda. Hijrahnya ibukota RI ke Yogya (1946-1949), adalah atas prakarsa “Sultan Henk”.

Sri Sultan Hamengkubuwo IX yang fasih berbahasa Belanda, memang punya nama Belanda. Di antara teman-teman Belandanya, Sri Sultan HB IX biasa dipanggil dengan nama Belanda, “Sultan Henk”. Henk, singkatan dari Henki. Nama ini diambil dari nama suami Ratu Wilhelmina, yaitu Pangeran Hendrik.

Di ensiklopedi disebutkan, Sri Sultan dinamai Henkie oleh keluarga Belanda yang mengasuhnya sejak kecil. Sejak umur empat tahun, Sultan memang sudah dititipkan pada keluarga Mulder, keluarga Belanda yang tinggal di Gondokusuman. Maksudnya agar bisa belajar disiplin dan hidup biasa seperti anak-anak lainnya.

Kini, 22 tahun sesudah wafatnya Sultan Henk, keraton Yogya diutak-atik, sebagai lanjutan pernyataan SBY tentang monarki di Yogyakarta.

Presiden menolak dituduh menyoalkan monarki karena ada muatan politis dibaliknya. Juga menolak anggapan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono X ancaman bagi popularitas Partai Demokrat di Pulau Jawa. Alasannya, presiden sudah terpilih selama dua periode. Tak bisa lagi maju untuk periode ketiga. Jadi apa buktinya Sultan Yogya itu adalah ancaman bagi SBY?

Orang-orang mengiyakan argumen itu. Alasan itu benar dan masuk akal. Orang-orang mengangguk-angguk. Tapi namanya juga manusia. Tidak puas cuma mengangguk. Setelah mengangguk, mata mereka pun diarahkan ke anggota keluarga presiden lain, yang duduk di Partai Demokrat. Di partai itu pula SBY tetap dan akan menjabat sebagai penasehat partai, jika tak lagi menjabat sebagai presiden. Selama prosesnya konstitusional, sistem demokrasi tidak akan menghalang-halangi siapa pun menjadi presiden, termasuk anggota keluarga presiden. Ini sah-sah saja.

Sementara itu, Nasional Demokrat, ormas tempat Sultan duduk sebagai pembina, hampir ada mirip-miripnya dengan Partai Demokrat. Namanya pun pakai embel-embel “Demokrat”. Yaitu Nasional Demokrat (Nasdem). Bedanya, Nasdem ormas bentukan Surya Paloh itu, bukanlah partai. (Tentang ini, Sultan pernah berkata, “Sama Ormas kok takut”).

Biru adalah warna Partai Demokrat. Nasdem juga warnanya biru.Warna darah antara kedua tokoh ini juga nyaris mirip. Sri Sultan berdarah biru. Presiden mungkin saja darahnya merah, tapi pembawaan dan tindak-tanduknya tak kalah berkharisma dari bangsawan berdarah biru.

Ada yang lebih menarik perhatian daripada sekedar kemiripan itu. Yaitu, Nasdem dikenal sangat oposan dan vokal terhadap penguasa. Karena itu, “sentilan” presiden tentang monarki di kesultanan Yogya dianggap sebagai balasan atas suara-suara vokal Nasdem selama ini.

Hidup di tengah carut marut politik, memang sudah risiko jadi pemimpin. Banyak intrik dan tekanan. Kalau tidak tahan terpaan badai, jalan yang paling mudah adalah mundur atau sekalian tidak pernah mencalonkan diri jadi pemimpin. Setiap keputusan dan kebijakannya akan diteliti sampai sekecil-kecilnya. Maklum saja, keputusan itu menyangkut hajat hidup jutaan rakyat. Salah sedikit, bisa menghasilkan efek domino. Jadi rakyat memang merasa berhak cawe-cawe.

Ngomong-ngomong tentang monarki. Beberapa negara kerajaan menyadari perlunya menganut monarki konstitusional. Misalnya Belanda dan Inggris. Ini untuk menghindari peluang terjadinya otokrasi dan diktatorisme yang bisa menindas rakyat. Karena dituntut hormat dan patuh pada konstitusi, walau dirinya pemimpin kerajaan, tapi Ratu Belanda tidak akan berani mencampuri kedaulatan dan keputusan pengadilan. Sebaliknya otoritas pengadilan juga sangat kuat, tidak akan sudi diatur-atur ratu. (Ini yang menyebabkan ratu tidak bisa seenaknya mengatur-atur pengadilan menghentikan tuntutan RMS. Sebaliknya, pengadilan juga mengakui kekebalan diplomatik SBY sebagai presiden, pihak lain tak bisa asal tuntut begitu saja).

Jadi, kalau bicara soal monarki...hari gini, masih ada juga negara yang menganut monarki absolut. Negara manakah itu? Wikipedia mencatat, Oman, Arab Saudi, Vatikan, Brunei. Oke, kita katakan saja Brunei. Monarki absolut itu jelas bertentangan dengan azas demokrasi. Lalu demokrasi itu konon lebih baik dari monarki. Tapi Brunei negara monarki itu, nyatanya negaranya lebih makmur. Padahal Brunei itu baru berapa tahun merdekanya?

Indonesia negara demokrasi. Sudah negara demokrasi, pakai “Pancasila” lagi. Apa masih kurang sakti? Sudah sakti begitu, mestinya negaranya adil makmur. Jadi, di mana letak kesalahan demokrasi? Tentu saja bukan karena ada daerah monarki (menurut SBY) dalam negara demokrasi.

Pilkada itu demokratis. Jadi pemilihan gubernur, walikota, dan bupati harus melalui Pilkada. Karena begitulah seharusnya sebuah sistem dalam negara demokrasi, mesti dijalankan. Sudah melalui proses demokratis, tapi berapa banyak kepala daerah mengkhianati pemilihnya, diangkut ke penjara karena korupsi? Berapa banyak praktek “money politics” dalam Pilkada? Berapa banyak oknum pejabat yang mengiming-imingi duit kepada para pemilihnya dalam Pilkada yang katanya demokratis itu? Di mana letak kesalahan sistem demokrasi? Apa artinya memilih langsung secara demokratis, tapi dipilih oleh pemilih bayaran?

Jika berbicara tentang mengutak-atik “daerah istimewa”, maka ada yang lebih istimewa untuk diutak-atik. Yaitu sebuah negara asing “istimewa” karena kok bisa dengan bendera “Freeport” selama bertahun-tahun mengangkut kekayaan alam yang bukan miliknya? Anehnya, ini terjadi di jaman kemerdekaan, bukan lagi jaman penjajahan. Ironis, rakyat terampas kesejahteraannya di tanahnya sendiri yang kaya itu. Bukankah rakyat mestinya di-”istimewa”-kan karena lebih berhak atas kekayaan alamnya sendiri yang dihisap secara berkesinambungan, oleh sebuah “Negara Istimewa”?

Mau demokrasi, mau monarki...toh, akhirnya tuntutan jaman sulit menyangkal idealnya sistem bernegara secara konstitusional. Ini artinya, hakikat bernegara itu tidak bermaksud mendudukkan presiden sebagai yang tertinggi dalam negara. Sultan bukanlah yang tertinggi di daerahnya. Titah raja bukan suara tertinggi seperti dalam monarki. Dan suara rakyat bukanlah segala-galanya, seperti yang dipikir orang tentang cara berdemokrasi.

Karena yang kedudukannya lebih tinggi daripada presiden, lebih tinggi daripada raja, lebih tinggi daripada rakyat...adalah HUKUM.

Berapa banyak negara monarki konstitusional yang tertib konsisten memberlakukan hukum secara adil? Dan berapa banyak negara non monarki yang penegakan hukumnya nyaris menjadi puing-puing di balik topeng demokrasi?

Walentina Waluyanti
Nederland, 5 Desember 2010

ILUSTRASI FOTO-FOTO DOK REDAKSI

MODERATOR - Penggagas KoKi : ZEVERINA

Pembaca "KOLOM KITA" (KoKi) entah di Bontang, Inggris, Bali, Belanda, New Jersey, Kuwait, Australia, atau di Kediri, silakan berbagi peristiwa seputar kehidupan sehari-hari. Kirimkan artikel dan foto melalui form "Kirim Artikel", jika mengalami kesulitan kirimkan melalui email: temennyazev@gmail.com ;kokizeverina@gmail.

http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/2154/utak-atik_keraton_sultan_henk?883306koki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar