JUMAT, 11 DESEMBER 1998
_________________________________________________________________
Kemal Idris Dkk Dikenai
Pasal Permufakatan
SEMARANG (Waspada): Letjen (Purn) Kemal Idris (mantan
Pangkostrad), Ali Sadikin (mantan Gubernur) yang dianggap telah
melakukan perbuatan makar, ternyata menurut hasil penyelidikan
aparat kepolisian, tidak dikenai pasal-pasal yang berkaitan dengan
tindakan makar tetapi pasal-pasal permufakatan, kata Wakapolri,
Letjen Pol Nana S Permana.
Waka Polri, Nana S Permana yang mantan Kapolda Jabar, usai upacara
wisuda Taruna Akpol di Semarang, Kamis (10/12) mengatakan, berkas
tiga orang di antara kelompok tersebut telah dilimpahkan ke
Kejaksaan, sedang yang lainnya masih menunggu proses pemeriksaan
lebih lanjut.
"Saya lupa namanya tiga orang itu, tetapi untuk Letjen (Purn)
Kemal Idris dan Ali Sadikin, belum karena masih menunggu proses
pemeriksaan selanjutnya. Tapi harus diingat bahwa yang dikenakan
kepada mereka pasal permufakatannya sedang yang di juncto-kan
adalah makar," katanya menegaskan.
Ditanya, upaya yang akan dilakukan oleh Polri terhadap kelompok
yang dituduh telah melakukan perbuatan makar, Waka Polri
mengatakan, pihaknya akan terus melakukan penyidikan dan akan
menyerahkan berkas mereka pada penuntut umum.
"Terserah pengadilan, apakah mereka nantinya dihukum atau tidak,"
ujarnya.
Apakah mereka telah terbukti melakukan perbuatan makar, Waka Polri
mengatakan, secara yuridis mereka telah melanggar pasal
permufakatan, yakni pasal 110 juncto pasal 107 itu.
Ditanya keterlibatan Kelompok Barisan Nasional, Waka Polri
mengatakan, ada beberapa oknum yang mengaku kelompok Barisan
Nasional yang terkena pasal permufakatan, itu yang perlu
dibuktikan.
Ditanya apakah Polri tidak mengangani proses hukum terhadap Kemal
Idris, Waka Polri mengatakan, bukan tidak ditangani tetapi belum
dikirim berkasnya. "Kalau nggak percaya...silahkan cek ke Mabes
Polri," kata Nana S Permana.
Sementara itu Para Guru Besar dari berbagai disiplin ilmu
Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, menganggap bahwa kegiatan
orang-perorang dan kelompok masyarakat untuk menyatakan pendapat
yang berbeda dengan penguasa, setajam apapun perbedaan itu, dengan
cara apapun belum bisa dianggap sebagai perbuatan makar.
"Suatu tindakan adalah makar apabila tindakan yang dilakukan
sekelompok masyarakat yang berbeda pendapat dengan penguasa
tersebut mengandung niat jahat dan paling tidak harus mencakup
persiapan dan (permulaan) pelaksanaan tindakannya," kata Prof Dr
dr Satoto yang bertindak sebagai juru bicara para Guru Besar
Undip.
Dijelaskan, dalam KUHP pasal 104 - 110, tindakan makar mencakup
mempersiapkan (permufakatan jahat atau memperlancar kejahatan) dan
melaksanakan tindakan membunuh atau merampas kemerdekaan Presiden
atau wakil presiden, kegiatan yang membuat sebagian atau seluruh
negara jatuh ke tangan musuh, menggulingkan pemerintahan serta
melawan pemerintah.
Pasal-pasal tersebut, menurut mereka, seringkali disebut sebagai
'pasal karet' karena kekenyalan dan ketidak pastian tafsirannya.
Jabaran tentang upaya-upaya memperlancar kejahatan dalam pasal 110
ayat 2 menyiratkan bahwa hampir semua hal yang didorong oleh
ketidak setujuan dengan penguasa dapat dianggap sebagai makar.
"Digunakan atau tidaknya pasal-pasal makar tersebut tergantung
pada penafsiran penguasa, dalam hal ini penegak hukum, polisi dan
jaksa terhadap tindakan sekelompok masyarakat yang berbeda
pendapat dengan penguasa tersebut. Tindakan demikian dapat
dikategorikan sebagai tindakan politisasi penegeakan hukum yang
memiliki potensi kurang benar dalam konteks peranan hukum untuk
penegakkan kebenaran," kata mereka.
Mereka menyayangkan, 'pelabelan sosio-politik' (socio-political
labelling) sebagai warisan Orde Baru masih dilaksanakan oleh
penguasa dalam berbagai hal. Secara historis, pelabelan sedemikian
dijadikan landasan legitimasi keputusan dan tindakan penguasa
dalam mempertahankan kekuasaannya.(antara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar