
KOMPAS.com - Terik matahari memanggang Jakarta. Enam wanita renta tengah berdiri di depan sejumlah ruko, menunggu mikrolet lewat di Jalan Panjang. MeniIik raut dan bangun fisik mereka yang sudah tidak bisa berdiri tegak, usia mereka tentu berkisar 75 tahun ke atas. Satu lengan digunakan untuk saling bergandengan tangan satu lagi untuk melindungi mata dari sengatan matahari.
Setiap hari pemandangan seperti ini tampak di seluruh penjuru Jakarta: warga di tepi jalan kepanasan karena tidak semua jalan dilindungi pohon peneduh. Awalnya, pemandangan seperti ini menyentuh bela rasa, memunculkan keprihatinan. Tetapi karena pemandangan ini terjadi setiap hari maka kepekaan menguap. Masyarakat tidak peduli lagi, sebagian malah tidak merasa apa-apa karena mereka merasa menjadi bagian dari masyarakat marjinal.
Persoalan yang hendak diangkat di sini adalah betapa para pengembang yang membangun ruko dan sentra belanja tidak tergugah menanam pohon. Pemerintah DKI Jakarta pun terkesan tidak menghiraukan masalah yang tampak sepele tetapi amat penting ini. Banyak proyek properti yang berkualitas buruk dari aspek lingkungan hidup, tetapi DKI seolah tidak peduli.
Mestinya sebagai penata Ibu Kota, Pemprov ketat mengawasi proyek properti agar tercipta kesadaran lingkungan. Kalau pengembangnya bandel dan tidak ingin menanam pohon, jangan beri izin membangun. Apabila Gubernur Fauzi Bowo yang terkenal tertib itu bersikap lebih keras untuk soal seperti ini, Ibu Kota akan mewujud sebagai salah satu kota terpandang di dunia.
Dalam perpektif lebih luas, sikap tegas ini akan berimbas jauh. Pengembang tidak akan semena-mena membangun ruko dan sentra belanja. Mereka akan menanam pohon dalam jumlah signifikan clan kemudian membangun ruko dan pusat belanja yang besar-benar layak, manusiawi dan sedap dipandang mata. Ada pohon peneduh, ada kembang di teras ruko, ada pohon di atap, dan ada sumur resapan.
Pada gilirannya, para pengembang pun akan mempunyai inklinasi berbuat lebih optimal. Rumah yang dibangun (termasuk rumah murah) mempunyai model lebih bagus. Aspek kekuatan dan daya tahan rumah tetap menjadi pertimbangan utama. Para pengembang menjadi lebih kreatif membangun rumah yang meski luas tanahnya hanya 100 meter persegi, tetapi akan tampak lapang. Pemilik rumah akan merasa berada di lapangan terbuka, bukan di sangkar. Inilah hasil kreasi manusia cerdas.
Harapan yang bisa disandarkan kepada para pengembang adalah mereka mempunyai standar baku mutu. Mereka "sepakat" menanam pohon di halaman, teras atas, dan atap rumah. Saluran air hujan ditumpahkan seluruhnya ke sumur resapan. Pengembang pun mempunyai idealisme dan lebih cinta Tanah Air. Pengembang akan membangun perumahan berkualitas untuk rakyat berpenghasilan rendah (Rp 2 juta - Rp 5 juta per bulan).
Harga tidak selalu menjadi acuan, karena rumah murah mestinya bisa dihasilkan tanpa harus mengeluarkan anggaran besar. Lihatlah misalnya, arsitek yang menangani korban gempa di Yogyakarta. Dengan anggaran yang amat kecil, Rp 15 juta - Rp 18 juta, dapat dibangun rumah "setengah batu". Bahan-bahan bangunan disediakan warga dari reruntuhan rumah akibat gempa. Lalu pengerjaan rumah baru dilakukan tukang bersama seluruh warga.
Tentu saja ini contoh ekstrim yang sulit diwujudkan. Namun setidaknya contoh ini dapat mengilhami pengembang untuk membantu rakyat berpenghasilan rendah membangun rumah dengan anggaran kecil. Atau pengembang membangun rumah "kelas hampir menengah", dengan harga jual di bawah Rp250 juta. Boleh jadi luas tanah tidak luas, hanya 120 meter persegi, tetapi pengembang bisa mengakalinya dengan membangun rumah yang menawan.
Buatlah model rumah yang menjadi gabungan gaya minimalis dan tropikal modern, lalu gunakan permainan warna dinding, ventilasi, gaya atap, langkan yang menarik dan sebagainya.
Kalau ini bisa dilakukan, pengembang benar-benar berbisnis mulia: tidak sekadar mencari laba, tetapi berkarya untuk masyarakat yang sejahtera. Pengembang pun tidak usah khawatir, sebab setiap usaha mulia selalu akan memperoleh imbalan menggiurkan dari Yang Maha Pencipta.
Setidaknya pengembang akan meraih nama wangi, reputasi tinggi dan award dari pelbagai lembaga. Tidak banyak pengembang yang sadar bahwa dengan berkarya, dan karena itu meraih pengakuan publik, mereka akan memperoleh kastemer yang amat luas dan loyal.
Tidak banyak pula pengembang yang sadar bahwa meraih reputasi, dan pengakuan publik, tidak bakal diperoleh dalam waktu semalam. Selalu butuh waktu dan proses. Sebab tidak ada pengakuan yang instant. Tidak ada pengakuan masyarakat yang bisa dibeli.
AS
Sumber : Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar